JS Post by Label

Sikap terhadap Ijtihad Para Ulama

Asy-Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Al-Jawiy Al-Indonesiy .

Memang suatu perkara yang mana dalilnya tentang itu belum jelas; ijtihad di dalamnya itu diperbolehkan. Dan ulama yang benar dalam ijtihadnya maka beliau akan mendapatkan dua pahala, sebagaimana dalam riwayat Yazid Ibnul Had: dari Muhammad Bin Ibrahim: dari Busr Bin Sa’id: dari Abu Qais Maula Amr Ibnil Ash: dari Amr Ibnil Ash رضي الله عنه‎ yang berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إذا حكم الحاكم فاجتهد فأخطأ فله أجر ثم إن حكم فأصاب فله أجران))

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika seorang hakim menghukumi maka dia berijtihad lalu dia keliru, maka dia akan mendapatkan satu pahala. kemudian jika dia menghukumi lalu dia tepat, maka dia akan mendapatkan dua pahala.”

Yazid Ibnul Had berkata: lalu aku menyampaikan hadits ini kepada Abu Bakr Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm, maka Abu Bakr berkata: demikianlah Abu Salamah menyampaikan hadits dari Abu Hurairah. 

[HR. Al Imam Ahmad (17809), Abu Dawud (3574), Ibnu Majah (2314), Ad Daruquthniy (24) dan yang lainnya dengan sanad yang shahih].

Dan Allah mewajibkan pada kita untuk menaati para ulama tadi sebagai ulil amri kita. 

Adapun ulama yang keliru ijtihadnya; maka beliau akan mendapatkan satu pahala, dan kesalahannya tadi diampuni, namun kita boleh menjelaskan bahwasanya yang benar dalam masalah ini adalah demikian dan demikian, berdasarkan fatwa ulama yang lain, dengan tetap beradab dan menjaga kehormatan pihak yang keliru.

Kemudian: sebagian ulama yang keliru di dalam pemahaman mereka terhadap suatu dalil; kita tidak boleh mengikuti kesalahan tersebut, karena kita diharamkan untuk mengikuti pendapat yang salah dari orang yang tidak ma’shum setelah jelasnya penyelisihan dia terhadap dalil-dalil yang jelas, sambil kita tetap menghormati mereka tadi.

Al Imam Muhammad Bin Idris Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Semua yang aku ucapkan, sementara telah datang hadits shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang menyelisihi ucapanku, maka hadits Nabi صلى الله عليه وسلم lebih utama untuk diikuti, dan janganlah kalian bertaqlid (mengekor) kepadaku.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam “Adabusy Syafi’iy”/hal. 67/ sanadnya shahih. Dan dari jalur beliau Al Imam Al Baihaqiy meriwayatkannya dalam “Ma’rufatus Sunan Wal Atsar”/no. (859)].

[Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul Auliya” (9/hal. 107) dan Ibnu Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” (51/386/ shahih lighairih)].

Al Imam Abu Syamah Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Bahkan wajib bagi pelajar untuk senantiasa selamanya berusaha mencari tambahan ilmu yang sebelumnya tidak dia ketahui dari siapapun dia (asalkan ahli ilmu Salafiy –pen), karena hikmah adalah mustika yang hilang dari seorang Mukmin, di manapun dia mendapatkannya hendaknya dia mengambilnya. Dan dia wajib untuk bersikap adil dan meninggalkan taqlid, selalu mengikuti dalil, karena setiap orang mungkin salah dan mungkin benar; kecuali orang yang dipersaksikan oleh syariat dengan ‘ishmah (terjaga dari kesalahan –pen), yaitu; Nabi صلى الله عليه وسلم”) .” [Mukhtasharul Muammal Fir Raddi Ilal Amril Awwal”/Abu Syamah/hal. 34/cet. Al Maktabatul Ashriyyah]. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Perkataan mereka: “Tidak boleh untuk saling mengingkari dalam perkara-perkara yang diperselisihkan” bukanlah perkataan yang benar, karena pengingkaran itu bisa jadi diarahkan kepada ucapan dari hukum tersebut, dan bisa jadi diarahkan kepada pengamalan dari hukum tadi. Adapun yang pertama: jika ucapan tadi menyelisihi suatu sunnah atau suatu ijma’ yang telah lampau, maka ucapan tadi wajib diingkari, tanpa ada perselisihan. Jika tidak demikian, maka ucapan tadi boleh diingkari dalam artian: sisi kelemahannya dijelaskan, menurut orang yang berpendapat bahwasanya pihak yang benar itu cuma satu, dan ini adalah pendapat hampir seluruh Salaf dan fuqoha. 

Adapun dari sisi amalan, jika amalan tadi menyelisihi suatu sunnah atau suatu ijma’ yang telah lampau, maka dia juga wajib diingkari sesuai dengan derajat-derajat pengingkaran, sebagaimana telah kami sebutkan dari hadits peminum nabidz (perasan buah) yang diperselisihkan, dan sebagaimana hukum seorang hakim itu dibatalkan jika menyelisihi suatu sunnah sekalipun dia telah mengikuti sebagian ulama. Adapun jika di dalam masalah itu tidak ada sunnah ataupun ijma’ maka ijtihad di situ boleh, orang yang mengamalkannya tidak diingkari baik secara ijtihad ataupun taqlid.” 

[“Bayanud Dalil ‘Ala Buthlanit Tahlil”/Ibnu Taimiyyah/hal. 159/Daru Ibnul Jauziy]. 

Bacalah juga perkataan Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله dalam “I’lamul Muwaqqi’in” (3/hal. 223/Khothou Man Yaqulu La Inkaro Fi Masailil Khilaf”/Darul Kutubil ‘Ilmiyyah]. 

Maka bukanlah ucapan yang benar itu adalah perkataan Asy Syaikh Fulan ataupun orang yang lebih tinggi dari beliau. Akan tetapi ucapan yang benar adalah firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan pemahaman As Salafush Shalih. Jika telah nampak bahwasanya perkataan Asy Syaikh Fulan itu tidak didukung oleh dalil-dalil dan bukti-bukti, maka harus dibuktikan bahwasanya Allah lebih kita cintai daripada beliau.

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata tentang Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawiy هللا رحمه: "Syaikhul Islam adalah orang yang kami cintai, namun al haqq lebih kami cintai daripada beliau. Dan semua orang yang selain al ma'shum, maka pendapatnya itu mampu diambil ataupun ditinggalkan" ["Madarijus Salikin"/2 hal. 32/cet. Darul Hadits].

Dulu Al Qadhi Abdul Jabbar رحمه الله sering menolong madzhab Asy Syafi’iy dalam masalah usul dan furu’. Manakala beliau mendapati kesalahan Asy Syafi’iy beliaupun berkata: “Pria ini adalah tokoh besar, akan tetapi kebenaran itu lebih besar daripada beliau.” [Dinukilkan oleh Ilkiya Al Hirrosiy sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Asy Syaukaniy رحمهما الله dalam “Irsyadul Fuhul”/2/hal. 813/cet. Ar Royyan].

Maka sikap menjadikan ucapan seorang alim atau perbuatannya bagaikan dalil syar’iy merupakan suatu kebid’ahan. 

Al Imam Asy Syathibiy رحمه الله berkata: “Ucapan orang alim telah menjadi hujjah menurut orang awwam, sebagaimana ucapan orang alim juga dijadikannya sebagai hujjah yang mutlak dan menyeluruh dalam fatwanya. Maka berkumpullah pada orang awwam ini amalan yang disertai keyakinan akan bolehnya perbuatan itu dengan adanya syubhah (kekaburan) dalil. Dan ini benar-benar merupakan kebid’ahan.[“Al I’tisham”/1/hal. 364]. 

Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله berkata: “Dan sungguh kaidah ahlul bida’ telah berjalan pada zaman dahulu dan yang berikutnya bahwasanya mereka itu bergembira dengan munculnya satu kalimat dari satu orang ulama, lalu mereka berlebihan dalam mempopulerkannya dan mengumumkannya di antara mereka, menjadikannya sebagai argumentasi untuk mendukung kebid’ahan mereka, dan dengannya mereka memukul wajah orang yang mengingkari mereka, sebagaimana engkau dapati di dalam kitab-kitab Rofidhoh yang di dalamnya ada riwayat-riwayat tentang kalimat-kalimat yang datang dari ulama Islam yang terkait dengan perselisihan para Shahabat, juga tentang keutamaan dan cercaan. Para Rofidhoh dengan adanya itu terbang gembira dan menjadikannya sebagai bagian dari simpanan dan ghanimah (rampasan perang) yang paling besar.” [“Adabuth Tholab”/hal. 35/ Darul Kutubil ‘Ilmiyyah].

Tentunya dalam membantah pendapat seorang ulama karena nampak menyelisihi hujjah; kita harus dibimbing oleh ulama yang lain. Tidak mungkin semua ulama (ahli ijtihad) di seluruh dunia keliru sementara yang bukan ulama itu yang benar, karena yang berhak memahami dalil secara langsung adalah para ahli ijtihad, sementara yang belum mencapai derajat mereka; dia itu memahami dalil dengan bimbingan ahli ijtihad.

Fadhilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan حفظه الله berkata: “Maka kami mewasiatkan kepada para pemuda untuk meninggalkan perpecahan dan perselisihan, dan hendaknya mereka menyodorkan perkara yang terjadi di antara mereka kepada para ulama. Mereka tidak mungkin untuk kembali (langsung) kepada Al Qur’an dan As Sunnah; karena mereka belum punya kemampuan untuk itu; karena kurangnya ilmu mereka. Akan tetapi hendaknya mereka kembali kepada para ulama, dan salah satu dari mereka berkata: “Saya berkata demikian, sedangkan si Fulan berpendapat demikian. Siapakah dari kami yang di atas pendapat yang benar?” Dan mereka berangkat dari pengarahan para ulama untuk menerangkan kebenaran.

Inilah yang kami inginkan untuk mereka: mereka merujuk kepada para ulama: boleh jadi berbicara secara langsung jika mereka hadir di dekat para ulama, atau boleh jadi dengan tulisan; mereka menulis surat kepada para ulama dan menerangkan kasus kepada mereka, lalu bertanya: “Siapakah dari kami yang ada di atas pendapat yang benar? Kami berkata demikian, sedangkan Fulan berkata demikian. Dalil Fulan demikian, dalil Fulan begini. Siapakah dari kami yang ada di atas pendapat yang benar? Kemudian mereka mengambil jawaban yang benar insya Allah.

Mereka menulis surat kepada para ulama yang terpercaya dan telah dikenal dengan keilmuan mereka, lalu mereka berangkat dari bimbingan dan pengarahan para ulama. Inilah yang aku wasiatkan kepada kalian”. 

[Selesai dari “Al Muntaqa Min Fatawal Fauzan”/28/hal. 4].

Jika seluruh ahli ijtihad telah bersepakat dalam suatu permasalahan, pastilah kebenaran ada pada mereka, walaupun diselisihi oleh orang-orang awam ataupun pelajar yang mengaku punya dalil.

Lalu jika ahli ijtihad berselisih pendapat, pastilah salah satunya itu yang benar dan sesuai dengan dalil, karena kebenaran tak mungkin keluar dari keseluruhan ahli ijtihad. 

Al Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Prinsip yang ketiga dari prinsip-prinsip beliau –yaitu: Al Imam Ahmad Bin Hanbal- adalah: jika para Sahabat berselisih pendapat; kita memilih dari pendapat-pendapat mereka tadi yang paling dekat kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Jika belum jelas bagi beliau kesesuaian salah satu dari pendapat tadi kepada dalil; beliau menukilkan perselisihan mereka dalam masalah tadi tanpa memastikan kebenaran salah satu dari pendapat-pendapat tadi. 

Ishaq Bin Ibrahim Bin Hani berkata dalam “Masail” beliau: “Ditanyakan kepada Abu Abdillah –Ahmad-: ‘Seseorang ada di tengah-tengah kaumnya, lalu dia ditanya tentang suatu masalah yang di dalamnya ada perselisihan (ulama)’. Maka beliau menjawab: ‘Hendaknya dia berfatwa dengan pendapat yang mencocoki Al Qur’an dan As Sunnah, namun jika tidak dia ketahui pendapat yang manakah yang mencocoki Al Qur’an dan As Sunnah, hendaknya dia menahan diri darinya...”

[Selesai dari “I’lamul Muwaqqi’in”/Ibnul Qayyim/1/hal. 31].

Al Khathib Al Baghdadiy رحمه الله berkata: “Ini dalam posisi jika para Sahabat berselisih pendapat dalam masalah tadi menjadi dua pendapat, dan zaman mereka habis di atas kedua pendapat tadi, maka sungguh para Tabi’in tidak boleh untuk mendatangkan pendapat yang ketiga, karena perselisihan Sahabat menjadi dua pendapat itu merupakan ijma’ (kesepakatan) akan batilnya pendapat yang selain keduanya. 

Sebagaimana ijma’ para Sahabat terhadap suatu pendapat merupakan ijma’ mereka tentang batilnya seluruh pendapat yang lain.

Maka sebagaimana seseorang tidak boleh membuat pendapat kedua di dalam perkara yang disepakati oleh para Sahabat di atas satu pendapat; maka demikian pula dia tidak boleh membuat pendapat ketiga di dalam perkara yang disepakati oleh para Sahabat di atas dua pendapat”.

[Selesai dari “Al Faqih Wal Mutafaqqih”/Al Khathib/1/hal. 435/ cet. Maktabah At Tau’iyyah Al Islamiyyah].

Beliau رحمه الله juga berkata tentang keadaan para imam yang terkenal dari kalangan Atba’ut Tabi’in: “Dan mereka punya banyak orang-orang yang semacam dengan mereka dari kalangan para tokoh di setiap zaman, para ahli penelitian dan ijtihad. Maka apapun yang mereka sepakati; berarti hal itu adalah hujjah. Dan ijtihad (dalam masalah tadi) menjadi gugur jika telah adalah ijma’ mereka tadi. Maka demikian pula jika mereka berselisih menjadi dua pendapat, tidak boleh bagi orang yang setelah mereka untuk membuat pendapat yang ketiga”. [“Al Faqih Wal Mutafaqqih”/Al Khathib/1/hal. 433/ cet. Maktabah At Tau’iyyah Al Islamiyyah].

Abul Hasan Al Asy’ariy رحمه الله berkata: “Dan para ulama bersepakat bahwasanya, ... –lalu beliau menyebutkan beberapa poin, sampai pada ucapan beliau:- dan bahwasanya tidak boleh bagi satu orangpun untuk keluar dari pendapatpendapat para Salaf, di dalam perkara yang mereka sepakati, ataupun di dalam perkara yang mereka perselisihkan, atau di dalam penakwilannya, karena kebenaran itu tidak mungkin keluar dari area pendapat-pendapat para Salaf”. [“Risalatun Ila Ahlits Tsaghr”/Abul Hasan Al Asy’ariy/hal. 306-307/cet. Maktabatul Ulumi Wal Hikam].

Sumber: "SOLUSI TEPAT BAGI PERBEDAAN MADZHAB DAN PENDAPAT DEMI KEJAYAAN UMAT"/Hal. 43-51 | Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
Diposting Diedit seperlunya di Blog ini.
ibrohim khothib khotib khatib qoyyim maksum rafidhah ghonimah sahabat shohabat kebidahan bidah shom syaukani syaukany ahlu bisa dibuang qadhi perkataan Allah Rosul sholeh sholih fuqaha qais rosululloh berkata salah benar taimiyah hurairoh mentaati shohih taklid taqlid bertaklid
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال